Masjid Pathok Negara Mlangi
Ada
Islam
Tradisional
-
-
Panjang : Lebar :
Panjang : Lebar:
-
Masjid Mlangi berdiri di atas sebidang tanah Kasultanan seluas 1.000 meter persegi, yang terdiri atas bagian ruang utama 20 x 20 meter persegi, serambi masjid 12 x 20 meter persegi, ruang perpustakaan 7 x7 meter persegi, dan halaman seluas 500 meter persegi.
Memasuki gapura halaman masjid, terdapat beberapa tangga menurun. Dengan begitu dilihat dari tinggi tanah pada umumnya, lokasi masjid ini lebih rendah dibanding tanah sekitarnya. Sisi kiri dan halaman masjid terdapat tembok beteng mengelilingi masjid. Di halaman bagian utara terdapat bangunan ruang pertemuan. Namun bangunan ini dibuat pada masa belakangan seiring dengan tuntutan kebutuhan masyarakat.
Di sisi barat, utara dan timur laut terdapat makam. Mereka yang dimakamkan di sana adalah keluarga keraton. Di sisi barat dimakamkan Pangeran Bei. Di utara masjid terdapat makam Pangeran Sedo Kedaton, yaitu Patih Danurejan pada masa Hamengkubuwono II. Di sisi timur adalah makam keluarga Pangeran. Prabuningrat.
Arsitektur masjid Mlangi pada asalnya sama dengan masjid keraton yang lain. Bentuknya seperti Masjid Pathok Nagari Plosokuning. Bangunannya mengikuti gaya arsitektur Jawa dengan penyangga-penyangga kayu. Konon pada masa dulu, soko masjid ini berjumlah 16 buah termasuk empat soko utama di ruang utama masjid. Di sisi masjid dibangun pawestren, tempat khusus untuk sholat kaum putri. Di bagian depan, sisi depan, kanan dan kiri masjid terdapat blumbang sebagai tempat membersihkan kaki jamaah sebelum memasuki masjid.
Sayangnya, bentuk bangunan ini sudah banyak mengalami perubahan. Blumbang yang dulu mengelilingi masjid, sekarang sudah tidak ada lagi. Pada waktu itu, air blumbang diambil dari bendungan Mlangi di wilayah timur. Namun pada perkembangan selanjutnya, jika air dialirkan untuk mengairi blumbang masjid, sawah-sawah di sekitarnya menjadi kering. Akhirnya, blumbang ini ditutup supaya tidak mengganggu kepentingan irigasi sawah.
Hal ini terjadi bersamaan dengan renovasi yang dilakukan tahun 1985. Panitia pembangunan, pada saat itu sowan dulu ke Kraton meminta izin untuk renovasi. Keraton memberikan izin dengan syarat tidak mengubah bentuk aslinya. Namun karena tuntutan untuk memperluas bangunan, masjid Mlangi kemudian ditingkat. Konstruksi bangunannya pun diganti dengan pilar-pilar beton. Sekalipun demikian, bentuk masjid aslinya dipertahankan dengan dinaikkan di lantai atas. Di sisi depan sebelah utara ditambah menara setinggi 20m ; sesuatu yang tidak lazim dalam arsitektur masjid Kasultanan.
Hanya beberapa bagian masjid yang masih terjaga kasliannya. Diantaranya adalah mustoko masjid. Bentuk mustoko ini konon sama dengan mustoko masjid Demak. Di sisi kanan kiri terdapat bunga-bunga melati berjumlah 17 buah. Di bagian atas terdapat sebuah godho dengan posisi berdiri.
Mimbar yang ada di masjid ini juga termasuk yang masih asli. Di sisi depan ada tangga bertingkat. Di bagian luarnya diberi kain mori putih, seperti mimbar-mimbar di masjid kerajaan Mataram tempo dulu. Beduknya juga memper- tahankan replika aslinya. Sekalipun tidak menggunakan kayu yang utuh, diameter beduk ini sama dengan ukuran bedug yang asli, yakni 165 cm.
Pada zaman dulu, pengelolaan masjid ini langsung di bawah kerajaan Ngayogyokarto. Dalam perkembangannya, kepengurusan masjid ini pada tahun 1955 oleh Kasultanan resmi diserahkan masyarakat Mlangi. Hal ini berlangsung pada masa pemerintahan Hamengkubuwono IX. Pada tahun itu, masjid Kasultanan Mlangi diserahkan kepada masyarakat diwakili KH Zainudin dan KH. Masduki. Sejak itulah masjid yang dulunya bernama Masjid Kasultanan Mlangi berubah nama menjadi Masjid Jami' Mlangi.
Sekalipun demikian, hubungan dengan keraton tetap terjaga. Takmir masjid Mlangi ini dulu diberi bengkok (sawah) oleh keraton. Di lokasi masjid juga terdapat abdidalem keraton. Abdidalem yang ada di sana ada dua yaitu abdidalem pamethakan, dan abdidalem surakso. Yang disebut terakhir ini adalah abdidalem yang berperan sebagai juru kunci pesarean. Pada bulan maulud, para abdidalem dikumpulkan dan dilakukan pasowanan ke keraton.
Semenjak masjid ini diserahkan ke masyarakat, pengelolaan masjid semakin longgar sekalipun tetap berkordinasi dengan keraton. Semenjak diserahkan kepada masyarakat, telah dilakukan pemugaran beberapa kali. Diantaranya pemugaran tahun 1970 dan tahun 1985. Setelah itu juga dilaklukan pemugaran secara berkala sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat.
Sekalipun demikian, pesona masjid ini tetap memikat banyak orang untuk datang baik yang bertujuan untuk sholat maupun berziarah. Hal ini terbukti setiap diadakan khaul, mereka yang hadir umumnya telah berulang kali datang.
Diserahkannya pengelolaan masjid ke masyarakat memang bisa dipahami. Di wilayah Mlangi terdapat sembilan pondok pesantren yang dipimpin oleh para kyai yang merupakan keturunan K. H. Nur Iman. Tidak kurang dari 1.000 santri yang belajar di pondok-pondok tersebut. Para santri datang ke Masjid pada saat-saat sholat jama'ah dan jum'atan. Sedangkan kuliah dilaksanakan di pondok masing-masing. Pondok-pondok tersebut adalah PP al-Huda, dipimpin KH Muhtar Dawam, PP. as-Salafiyah dipimpin KH Sujangi, PP al-Miftah dipimpin KH Munahar, PP an-Nasat dipimpin KH Samingun, PP al-Ikhlas dipimpin KH Bahaudin, PP Hidayatul Mubtadi'in dipimpin KH Nur Iman Mukim, PP al-Falahiyah dipimpin Ny. Hj Rubaiyah, PP as-Salimiyah dipimpin KH Salimi, dan PP al-Furqon dipimpin KH Imanuddin.
Pola kepemimpinan Kyai selalu direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari dengan slogan “tahu amal dan tahu ilmuâ€, artinya sukses dunia akherat. Cerminan seperti itu masih terlihat sampai sekarang sehingga di dusun Mlangi sulit dicari orang yang malas bekerja apalagi malas beribadah khususnya sholat.
Di Mlangi juga dikenal tradisi jenang manggul. Tradisi ini bermula sejak Hamnegkubuwono I, saat memberikan tanah perdikan Mlangi. Pada saat Kyai Nur Iman hendak mendirikan pesantren, Hamengkubuwono I saat peletakan batu pertama dilakukan tradisi jenang manggul. Artinya sageto manggul ayahandanipun kyai Nur Iman dalam hajatnya menyebarkan ajaran Islam.
Semangat inilah yang terus menggelora. Menurut Kyai Nur Iman, dalam memperjuangkan Islam kita harus bersungguh-sungguh. Sebab itu, tradisi “jenang manggulâ€, yang dilakukan dengan memasak bubur dalan jumlah besar, dimaksudkan untuk mengingatkan akan beban tanggungjawab yang tidak ringan ini.
Nama Kyai Haji Nur Iman telah membawa nuansa Islami bagi masyarakat luas. Makamnya pun sampai sekarang banyak diziarahi orang. Hal itu terbukti bahwa hampir 200 orang per hari, hadir tamu dari luar daerah yang bermaksud mengunjungi masjid sekaligus ziarah ke Makam Kyai. Bahkan pada hari-hari tertentu pengunjung mencapai 500 orang. Umat Islam yang telah berkunjung biasanya bercerita kepada orang lain dari cerita tersebut juga ditindaklanjuti untuk ikut berkunjung. Semua ini tentu membawa berkah, tidak saja bagi yang berkunjung tapi juga bagi masyarakat sekitar.
-
-
-
-
Belum Ditetapkan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Sleman
Gamping
Nogotirto
-
-
-
Dusun Mlangi Jalan
Sleman
Gamping
Nogotirto
Jalan Mlangi Jalan
-
-
-
-
Baik
-
Baik
-
Baik
-
Tidak ada gambar.
Tidak ada video.
Tahun Data | : | 2019 |
Terakhir Update | : | 13 Februari 2014 - 15:49:53 |