Jenis Permainan Rakyat / Tradisional

Cublak-cublak suweng


General

Cublak-cublak suweng

-

kerikil dan biji-bijian

Pemain melakukan hompimpah apabila jumlah pemain lebih dari 2 orang, namun jika hanya 2 orang maka cukup pingsut saja. Anak yang kalah dimisalkan A dan yang menang B, C, D dan seterusnya. Selanjutnya A duduk bersimpuh dan telungkup sedangkan B,C,D dan seterusnya duduk bersimpuh mengelilingi A sambil meletakkan tangan di punggung A. Setelah itu kelompok yang menang menyanyikan lagu cublak-cublak suweng. Anak yang paling besar berperan sebagai mbok dan memegang uwer lalu ditekankan memutar secara bergantian di telapak tangan anak yang menang smpai terakhir dirinya sendiri. Setelah lagu sampai di pak empong orong-orong maka semua telapak tangan diangkat dari punggung A dengan posisi menggenggam, dan pada kata-kata sir-sir pong dele kaplak/gosong, kedua telunjuk kiri dan kanan terjulur seperti orang menyisir gula. Bersamaan itu, si A bangun dan menebak telapak tangan yang mana yang membawa uwer. Bila tebakan salah maka semua mengatakan gosong dan A tetap menjadi yang kalah, seperti itu bisa diulang terus-menerus.

Penetapan WBTB
Kabupaten

-

-

-

Provinsi

-

-

-

Nasional

-

-

-

Internasional

-

-

-

Gambar/ Video
GAMBAR

Tidak ada gambar.


VIDEO

Tidak ada video.

Keterangan Tambahan

No. Registrasi : 20102010000117
Nama Karya Budaya : Cublak-cublak Suweng
Provinsi : DI Yogyakarta
Domain : Tradisi dan Ekspresi Lisan
Kategori : Permainan Tradisional

Kiranya pemberian nama cublak-cublak suweng terinspirasi dari alat yang digunakan untuk bermain yakni sejenis suweng (subang) yang berbuat dari tanduk, biasa disebut uwer. Alat itu biasa digenggam oleh anak-anak yang bermain cublak-cublak suweng. Jika tidak ada benda serupa, maka dapat diganti dengan kerikil atau benda lain sebesar butir mutiara, dan benda tiruan itu dianggap sebagai suweng. Namun, walaupun alat yang digunakan sudah tidak sesuai awal-mulanya, tetapi permainan ini tetap disebut cublak-cublak suweng. Entah mulai kapan permainan ini dikenal dan dimainkan oleh anak-anak masyarakat Jawa, tidak begitu jelas. Tetapi setidaknya nama permainan ini telah terekam di Baoesastra (Kamus) Djawa yang terbit tahun 1939 lalu. Kamus karangan W.J.S. Poerwadarminto ini pada halaman 641 kolom 2, disebutkan bahwa cublak-cublak suweng termasuk nama dolanan anak. Begitu pula di masyarakat, permainan ini keberadaannya cukup merata. Di wilayah Yogyakarta juga dikenal permainan ini, di wilayah Jawa Tengah juga dikenal. Begitu pula di wilayah-wilayah lain yang termasuk masyarakat Jawa, seperti Jawa Timur, tentunya. Jadi, dolanan ini setidaknya sudah lebih dari 70 tahun dikenal hingga saat ini. Anak-anak yang sering memainkan dolanan ini biasanya juga anak-anak kecil dengan usia antara 6?14 tahun. Anak-anak yang lebih besar jika bermain cublak-cublak suweng, biasanya lebih fokus mengajari adik-adiknya yang berusia lebih muda. Dapat dimainkan oleh anak perempuan, laki-laki, atau campuran. Namun karena sifat permainan ini tidak banyak membutuhkan kekuatan fisik dan tidak menguras tenaga, seringkali identik dengan permainan perempuan. Anak-anak yang hendak bermain cublak-cublak suweng, biasanya berkumpul di suatu tempat yang dianggap nyaman dan cukup terang. Misalkan ada 4 anak hendak bermain, maka setelah berkumpul, mereka menentukan dulu si embok, atau pemimpin dolanan. Setelah disepakati, lalu mereka hompipah untuk menentukan pemain yang menang dan kalah. Jika dari keempatnya, kebetulan pemain B kalah, maka pemain A, C, dan D termasuk pemain yang mentas (tidak jadi). Pemain ?dadi? atau kalah segera duduk bertimpuh lalu badannya direbahkan ke lantai, sementara pemain lainnya mengelilinginya. Para pemain yang menang, kedua tangannya diletakkan terlentang (terbuka) di punggung pemain kalah. Begitu pula tangan sebelah (biasanya kiri) bagi si embok (pemimpin dolanan). Sementara tangan kanannya memegang kerikil atau sejenisnya yang dianggap sebagai suwengnya. Si pemain kalah, sambil tengkurab juga memejamkan mata, agar tidak tahu gerakan suweng yang diedarkan ke antar tangan. Setelah itu, semua pemain yang menang bersama-sama si embok menyanyikan syair cublak-cublak suweng seperti di bawah ini. Ada dua versi syair cublak-cublak suweng, walaupun di awal sama, tetapi yang di belakang agak berbeda. Syair pertama biasa kita jumpai di daerah Yogyakarta dan sekitarnya, lengkapnya demikian: //Cublak-cublak suweng, suwenge ting gelenter, mambu ketundhung gudel, pak empong orong-orong, pak empong orong-orong, sir-sir plak dhele kaplak ora enak, sir-sir plak dhele kaplak ora enak//. Sementara syair kedua sering kita jumpai di wilayah Jawa Tengah, dengan syair sebagai berikut: //Cublak-cublak suweng, suwenge ting gelenter, mambu ketundhung gudel, pak empo lera-lere, sapa guyu ndhelikake, sir-sir pong dhele gosong, sir-sir pong dhele gosong//. Perbedaan syair pada lagu cublak-cublak suweng ?atau juga mugkin muncul di syair lagu dolanan lain-- biasa terjadi antar daerah, karena dulu penyebaran dolanan dari satu daerah ke daerah lain terjadi begitu saja secara lisan. Maka tidak mustahil dalam penyebaran itu terjadi perubahan kata-kata dalam syair. Setelah si ?embok? sebagai pimpinan dolanan cublak-cublak suweng selesai menyanyikan lagu ini dan ketika pada akhir syair ?gosong? atau ?ora enak?, maka pemain terakhir yang kejatuhan suweng segera menggenggam tangannya hingga suweng tersebut tidak kelihatan. Demikian pula tangan anak-anak lain juga dalam posisi menggenggam, seolah-olah menggenggam suweng. Cara ini sebagai bentuk kamuflase atau tipuan agar pemain dadi bingung mencari tangan yang benar-benar menggenggam suweng. Bagi anak yang mentas, semua tangannya sudah dalam posisi menggenggam, namun semua jari telunjuk dijulurkan (atau diluruskan). Kemudian dengan gerakan seolah-olah mengiris atau menggesek-gesekkan antara jari telunjuk, semua kembali menyanyikan bagian akhir syair yaitu ?sir-sir plak dhele kaplak ora enak? atau ?sir-sir pong dhele gosong? berulang kali. Saat para pemain mentas menyanyikan syair bagian akhir, pemain ?dadi? mulai duduk dan menebak tangan pemain mentas yang berisi suweng secara acak, karena semua tangan menggenggam. Jika pemain ?dadi? kebetulan tepat menunjuk tangan yang membawa suweng, maka secara otomatis, nyanyian dihentikan dan anak yang tertebak membawa suweng menjadi anak yang ?dadi?. Permainan segera dimulai dari awal. Namun sebaliknya, jika pemain ?dadi? tidak tepat menunjuk tangan yang menggenggam suweng, maka ia kembali menjadi pemain ?dadi?. Dalam permainan ini, jika ada anak yang berulang kali ?dadi? diistilahkan dengan dikungkung. Namun sebelum permainan kembali diulangi dari awal, biasanya ada kesepakatan hukuman bagi pemain ?dadi? yang keliru tebak. Ada banyak hukuman untuk pemain ?dadi? yang salah tebak, misalnya hukuman pukulan tangan. Caranya, secara bergiliran pemain mentas memukul (istilah Jawa: namplek) salah satu tangan pemain ?dadi? yang direntangkan di hadapan pemain mentas. Lalu kedua tangan pemain mentas diletakkan di kanan kiri tangan yang direntangkan. Setelah itu, secara bergantian tangan kanan kiri pemain mentas diayunkan namplek tangan pemain kalah. Jika tangan pemain kalah dapat menghindar dan tamplekan tidak mengena, maka ia bebas dari hukuman salah satu pemain. Kemudian dilanjutkan hukuman oleh pemain menang lainnya dengan cara yang sama. Jika semua pemain menang telah menghukum, maka pemain ?dadi? kembali duduk bertimpuh dengan membungkukkan badan atau tengkurab, atau seperti posisi awal permainan. Para pemain menang kembali menyanyikan syair cublak-cublak suweng. Begitu seterusnya hingga semua anak merasa puas atau capek bermain cublak-cublak suweng. Biar pun saat ini, permainan cubkal-cublak suweng sudah jarang dimainkan oleh anak-anak sekarang, namun sebenarnya permainan ini memberi manfaat yang besar terhadap pendidikan dan sosialisasi anak, seperti jiwa sportif, keberanian, dan solidaritas. Anak yang bermain cublak-cublak suweng saat menjadi pemain ?dadi? harus konsisten dan tidak boleh curang. Ia harus menjadi pemain yang berani menghadapi kekalahan. Demikian pula, permainan ini diharapkan mendidik ke anak-anak untuk bisa bersosialisasi dengan teman, berbagi kesenangan dan kesedihan. Juga menghindarkan dari rasa egoisme anak, karena anak mempunyai kedudukan sama dalam permainan, kadang menang kadang kalah.

FILOSOFI PERMAINAN TRADISIONAL
Makna Cublak-CUblak Suweng yang menakjubkan

Cublak-cublak suweng
Suwenge ting gelenter...
Mambu ketundung gudhel
Pak gempo lerak-lerek
Sopo ngguyu ndelekakhe

Sir-sir pong dele kopong
Sir-sir pong dele kopong
Sir-sir pong dele kopong

Apa sebenarnya makna dari dolanan bocah cilik ini?
Dari lirik lagunya bila dalam kiasan bahasa Indonesia kurang lebih seperti ini:

Permainan ini memang mengajari tentang pencarian harta dalam hidup. Dari lirik lagunya ”cublak-cublak suweng” …suweng artinya hiasan di telinga, lebih berharga daripada anting…identik dengan harta. Bisa diartikan ayolah ”tebak tempat menyimpan harta”

”Suwenge ting gelenter” maksudnya hartanya tersebar dimana-mana.
Hal ini terlihat pula dalam permainannya dimana anak-anak menyembunyikan batu kerikil (diibaratkan suweng) lalu beredar dari satu tangan ke tangan yang lain (”suwenge ting gelenter”)

”Mambu ketundung gudhel” = mambu artinya tercium, ketundung artinya yang dituju, sedangkan gudhel artinya anak kerbau….mengapa anak kerbau, bukan kerbaunya? Anak kerbau identik dengan kebodohan(karena masih berwujud anak, yang belum matang alias belum tahu apa-apa). Secara garis besar kabar tentang tempat harta ini mudah tercium (tersiar) oleh orang-orang bodoh.

”Pak Gempo lerak-lerek” = Pak Gempo melirik-lirik (mencarinya). Pak Gempo digambarkan sebagai kebalikan dari gudhel yang masih berwujud anak. Makanya menggunakan kata awalan ’Pak’. Pak Gempo adalah sosok manusia yang telah dewasa dan berusaha mencari harta (’suweng’) tsb. Pak Gempo diwujudkan sebagai manusia yang berakal, beda dengan ’gudhel’ yang hanya anak hewan yang identik dengan kebodohan. Sehingga dianggap Pak Gempo bisa mencari harta tsb. Dalam permainan wujud Pak Gempo adalah anak yang bermainan dalam posisi sujud dan akhirnya dia harus menebak siapa yang menyimpan batu kerikil tsb.

”Sopo ngguyu ndelekakhe” = Siapa yang tertawa pasti menyembunyikan. Di permainannya kita tahu bahwa anak-anak yang lain (yang tidak telungkup) pasti tertawa saat anak yang telungkup berusaha menebak siapa yang menyimpan batu kerikilnya.

” Sir-sir pong dele kopong” = di dalam hati nurani yang kosong. Suatu petunjuk bagi yang ingin mencari harta/menebak di permainan bahwa untuk mencari pelakunya gunakanlah hati nurani.

Terimakasih dari FB Claudio Akbar Yudhistira

 

Tahun Data : 2019
Terakhir Update : 19 Februari 2018 - 09:00:10