Upacara Adat

Kampung Pitu


General

Kampung Pitu

-

Aktif

Kampung Tujuh Keluarga

Mbah Rejo Dimulyo

30

-

-

Penetapan WBTB
Kabupaten

-

-

-

Provinsi

-

-

-

Nasional

-

-

-

Internasional

-

-

-

Penghargaan
Kabupaten

-

-

-

Provinsi

-

-

-

Nasional

-

-

-

Lokasi

Gunungkidul

Patuk

Nglanggeran

Dusun Paduhulan Jalan Wetan RT 19 RW 04

-

-

-

Keterangan Lain

-

-

Tidak Ada

Tidak Ada

Tidak Ada

-

Tidak Ada

-

di puncak gunung api purba berada di paduluhan Nglanggeran Wetan RT 19 RT 04

-

-

-

-

-

-

< 1000

Masyarakat

Eyang Iro Kromo

-

warga Kampung Pitu yang dipimpin Mbah Rejo Dimulyo tetap berpegang pada wasiat leluhurnya. Dengan budaya tutur,mereka menjadikan Gunung Wayang atau Gunung Nglanggeran sebagai teman hidup bersanding dengan keharmonisan alam. Warisan yang akan terus dipegang erat adalah wasiat leluhur yang hanya memperbolehkan mereka tinggal di Kampung Tujuh dengan tujuh Kepala Keluarga saja,ini merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap leluhurnya.Bahkan warga merasa khawatir apabila kepercayaan tersebut luntur,akan terjadi bencana yang dapat melanda kehidupan mereka.

Kenapa disebut Kampung Pitu, menurut ceritera awalnya bernama Kampung Tlaga, karena hanya dihuni 7 Kepala Keluarga kemudian disebut dengan kampung Pitu. Warga Kampung Pitu sendiri juga tidak bisa menjawab secara pasti sejak kapan mulai tinggal di tempat ini, namun mereka mengatakan bahwa secara turun temurun sudah ada sejak zaman para wali,meski tidak bisa menyebutkan siapa nama wali tersebut.

            Meskipun demikian, sejarah Kampung Tlaga atau Kampung Pitu yang dihuni hanya tujuh Kepala Keluarga tersebut dapat ditelusuri dari ceritera rakyat yang ada.Ceritera tutur ini masih lestari hingga kini.Mereka kuat di imajinasi warga Kampung Pitu.Konon waktu itu di puncak bukit Gunung Nglanggeran ada pusaka yang memiliki kekuatan gaib menempel pada pohon Kinah Gadung Wulung, setiap ada warga yang berniat mengambil pusaka itu selalu gagal. Kemudian pihak Keraton Yogyakarta membuat sayembara siapa yang bisa mengambil pusaka itu akan diberikan imbalan berupa tanah secukupnya untuk anak dan keturunannya.

            Meskipun banyak yang mengikuti sayembara,tetapi yang berhasil hanya Eyang Iro Kromo dan mendapatkan hadiah berupa tanah dari Keraton Yogyakarta. Eyang Iro Kromo sebagai cikal bakal Kampung Tlaga dan temannya yang berjumlah tujuh orang itu kemudian menetap dan tinggal dekat pohon dan membuat kesepakatan :

1.      Kepala Keluarga yang tinggal di sekitar pohon tersebut hanya boleh tujuh kepala keluarga

2.      Jika ada keturunan dari tujuh orang tersebut berkeinginan tinggal di sekitar pohon tersebut maka harus menunggu sampai ada kepala keluarga yang meninggal.

3.      Jika tetap ingin tinggal, sementara kepala keluarga sudah ada tujuh,maka keluarga mereka harus menginduk pada tujuh kepala keluarga yang ada,tak boleh berdiri dalam kepala keluarga sendiri

Kesepakatan adat tersebut tetap ditaati oleh kepala keluarga hingga saat ini

 

            Setelah Eyang Iro Kromo meninggal,sesepuh Kampung Tujuh itu kemudian digantikan Mbah Mento Dikromo,Mbah Kartoyoso dan saat ini dipimpin oleh Mbah Rejo Dimulyo yang usianya sudah lebih dari 100 tahun,meski pada KTP tertulis Lahir 31 Desember 1928.

Gambar/ Video
GAMBAR

Tidak ada gambar.


VIDEO

Tidak ada video.

Keterangan Tambahan

KAMPUNG PITU

Kampung Tujuh Keluarga

 

“sing kurang digenepi, sing keliwat kudu dilongi”

(Redjo Dimulyo, Pemangku Adat Kampung Pitu, 101 tahun)

 

Pelestari Adat Kampung Pitu

Kampung Pitu, Nglanggeran, Gunungkidul

 

            Kampung Pitu adalah nama kampung yang terletak di puncak Gunung Api Purba  seluas 7 Ha berada di Paduluhan Nglanggeran Wetan RT 19 RW 04 Desa Nglanggeran Kecamatan Patuk Kabupaten Gunungkidul. Warga Kampung Pitu sendiri menyebut Gunung Nglanggeran dengan sebutan Gunung Wayang, karena bebatuan yang ada pada gunung tersebut terlihat seperti tokoh tokoh wayang yang dijajar.

            Kenapa disebut Kampung Pitu, menurut ceritera awalnya bernama Kampung Tlaga, karena hanya dihuni 7 Kepala Keluarga kemudian disebut dengan kampung Pitu. Warga Kampung Pitu sendiri juga tidak bisa menjawab secara pasti sejak kapan mulai tinggal di tempat ini, namun mereka mengatakan bahwa secara turun temurun sudah ada sejak zaman para wali,meski tidak bisa menyebutkan siapa nama wali tersebut.

            Meskipun demikian, sejarah Kampung Tlaga atau Kampung Pitu yang dihuni hanya tujuh Kepala Keluarga tersebut dapat ditelusuri dari ceritera rakyat yang ada.Ceritera tutur ini masih lestari hingga kini.Mereka kuat di imajinasi warga Kampung Pitu.Konon waktu itu di puncak bukit Gunung Nglanggeran ada pusaka yang memiliki kekuatan gaib menempel pada pohon Kinah Gadung Wulung, setiap ada warga yang berniat mengambil pusaka itu selalu gagal. Kemudian pihak Keraton Yogyakarta membuat sayembara siapa yang bisa mengambil pusaka itu akan diberikan imbalan berupa tanah secukupnya untuk anak dan keturunannya.

            Meskipun banyak yang mengikuti sayembara,tetapi yang berhasil hanya Eyang Iro Kromo dan mendapatkan hadiah berupa tanah dari Keraton Yogyakarta. Eyang Iro Kromo sebagai cikal bakal Kampung Tlaga dan temannya yang berjumlah tujuh orang itu kemudian menetap dan tinggal dekat pohon dan membuat kesepakatan :

1.      Kepala Keluarga yang tinggal di sekitar pohon tersebut hanya boleh tujuh kepala keluarga

2.      Jika ada keturunan dari tujuh orang tersebut berkeinginan tinggal di sekitar pohon tersebut maka harus menunggu sampai ada kepala keluarga yang meninggal.

3.      Jika tetap ingin tinggal, sementara kepala keluarga sudah ada tujuh,maka keluarga mereka harus menginduk pada tujuh kepala keluarga yang ada,tak boleh berdiri dalam kepala keluarga sendiri

Kesepakatan adat tersebut tetap ditaati oleh kepala keluarga hingga saat ini

            Setelah Eyang Iro Kromo meninggal,sesepuh Kampung Tujuh itu kemudian digantikan Mbah Mento Dikromo,Mbah Kartoyoso dan saat ini dipimpin oleh Mbah Rejo Dimulyo yang usianya sudah lebih dari 100 tahun,meski pada KTP tertulis Lahir 31 Desember 1928.

Penghuni Kampung Pitu saat ini berjumlah 30 Jiwa

No

NAMA KEPALA KELUARGA

ISTERI

ANAK

 

1.

Warso Diyono

Lanjar

Handayani

2.

Surono

Ranti

1.Roni Setyawan

2.Annisa Nur Setyawati

3.Rejo Dimulyo (Ortu/Ayah)

4.Jumiyem (Ortu/Ibu)

3.

Sugito

Lasmini

Briyan Amanda Putra Pratama

4.

Yatnorejo

Sumbuk

Sarjono

5.

Dalino Adi Suwito

Ngatinem

1.Puji Lestari

2.Tri Mulyani

3.Septiyanita Aldila Musikhatun

6.

Suhardi

Suyanti

1.Ari Wibowo

2.Heni Sri Agung

3.Anggita Ayuningtias

4.Dian Maulana

5.Karso Suwito (Ortu)

7.

Sumadiyono

Ngatijem

1.Wartini

2.Syambara Bondan Ananta (cucu)

Meski zaman telah berubah, warga Kampung Pitu yang dipimpin Mbah Rejo Dimulyo tetap berpegang pada wasiat leluhurnya. Dengan budaya tutur,mereka menjadikan Gunung Wayang atau Gunung Nglanggeran sebagai teman hidup bersanding dengan keharmonisan alam. Warisan yang akan terus dipegang erat adalah wasiat leluhur yang hanya memperbolehkan mereka tinggal di Kampung Tujuh dengan tujuh Kepala Keluarga saja,ini merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap leluhurnya.Bahkan warga merasa khawatir apabila kepercayaan tersebut luntur,akan terjadi bencana yang dapat melanda kehidupan mereka.***

CB Supriyanto

Tahun Data : 2019
Terakhir Update : 10 Januari 2019 - 09:29:16