Sadranan/Ruwahan
-
Aktif
Kampung Budaya Gedongkiwo
Drs. Andang Suprihadi P, MS
-
2014
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Yogyakarta
Mantrijeron
Gedongkiwo
Dusun - Jalan -
-
-
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
-
Tidak Ada
bulan Ruwah (kalender Jawa) / bulan Sya'ban (Kalender Hijriyah)
Kampung Gedongkiwo
-
Sewa
Baik
peralatan memasak, peralatan upacara adat, kostum pakaian dll
Sewa
Baik
< 1000
Masyarakat, Pemerintah, Sponsor
Raja Majapahit Hayam Wuruk
Maksud :
melestarikan nilai nilai budaya tradisi Jawa yang baik untuk diperkenalkan dan diwariskan kepada generasi muda dan meningkatkan kebersamaan masyarakat dengan semboyan "Segoro Amarto" (Semangat Gotong Royong Agawe Majune Ngayogyakarto).
Tujuan :
1. Mengajak masyarakat untuk mencintai seni dan budaya.
2. Mengembangkan sumber daya, potensi lokal, UKM, seni dan budaya
3. Menjaga seni tradisi budaya Jawa agar tidak hilang tergerus modernisasi jaman.
4. Mendukung keistimewaan Yogyakarta sebagai kota endidikan, pariwisata dan budaya.
Mengirimkan doa kepada para leluhur yang telah mendahului kita dan meminta keselamatan kepada Sang Pencipta
Kegiatan ini disebut dengan Ruwahan/Sadranan lantaran tradisi tersebut memang dilakukan pada bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa atau upun bulan Sya'ban dalam penanggalan HIjriyah, yaitu bulan sebelum menginjak masa puasa Ramadhan.
Tradisi ruwahan sejatinya telah ada sejak dahulu kala, yaitu sebelum Islam datang. tepatnya adalah pada masa Majapahit dengan istilah "sradha", yaitu istilah yang dipergunakan oleh umat HIndu untuk sebuah acara pemuliaan roh leluhur yang telah meninggal.
Sesuai catatan sejarah, diceriterakakn bahwa pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit, beliau sempat menyelenggarakan upacara sradha guna memuliakan arwah ibundanya yaitu Tribhuwana Tunggadewi
Sejarah cerita itu diperkuat dengan catatan kita Negara Kertagama yang mengisahkan pertama kalil pelaksanaan upacara sradha yaitu diilakukan oleh raja ke tiga Majapahit, Ratu Tribhuwanan Tunggadewi sendiri. Upacara tradisi sradha dimaksudkan untuk memberikan penghormatan kepada arwah Ramanda Dyah Sanggramawijaya dan ketiga ibu prameswari.
Dari kisah tersebut maka dikenallah dengan nama tradisi nyadran atau sadranan. Pada hakekatnya tradisi ruwahan atau nyadranan tak jauh berbeda, yaitu mengiorimkan doa kepada para leluhur yang telah mendahului kita.
Tidak ada gambar.
Tidak ada video.
Konsep Acara :
Melestarikan nilai-nilai tradisi budaya Jawa dan semangat gotong royong, dalam tradisi membuat ketan kolak dan apem dengan suasana kerja yang saling membantu, guyub dan penuh rasa kebersamaan sangatlah kental terasa, hal inilah yang perlu dilestarikan oleh masyarakat saat ini.
Kampung Gedongkiwo yang terdiri dari 5 Rukun Warga, 30 Rukun Tetangga mengadakan perlombaan membuat ketan kolak apem di masing masing RT, yang dimulai dari mempersiapkan peralatan memasak, membuat adonan hingga menyajikan ketan kolak apem yang sudah jadi.
Kegiatan ini dimulai pada hari sabtu malam dengan dibuka dengan doa keselamatan "miwiti ngebluk" yang dipusatkan di Pendopo Cokrosenan, setelah itu dilaksanakan ngebluk di masing masing RT secara serempak.
Di Pendopo Cokrosenan dilanjutkan dengan sarasehan tentang tradisi Sadranan/Ruwahan oleh pakar budaya dan hiburan pendukung.
Pada hari Minggu nya, kurang lebih pukul 3 sore setiap perwakilan RT membawa ketan, kolak dan apem yang telah dipersiapkan pembauatannya sejak sabtu malam diatas nampan (tambir). Dari perwakilan RT juga amempersiapkan ketan kolak dan apem yang akan dikirabkan keliling kampung Gedongkiwo. Iring iringan kirab ketan kolak apem ini melibatkan seluruh elemen masyarakat dari masing masing RT, potensi kesenian dan pendukung kegiatan sadranan ini. pada akhir kirab, semua ketan kolak dan apem akan dibagikan kepada seluruh masyarakat yang hadir dalam acara tersebut.
malam harinya dipentaskan berbagai pertunjukan kesenian potensi kampung kelurahan Gedongkiwo.
Tahun Data | : | 2019 |
Terakhir Update | : | 19 Juni 2014 - 09:27:15 |