Nyadran Dusun Wonotoro
-
Aktif
-
Hargo Nugroho
35
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Gunungkidul
Karangmojo
Jatiayu
Dusun Wonotoro Jalan -
-
-
Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
-
Ada
-
-
-
Sewa
Sedang
Gamelan, Terbang
Sewa
Sedang
1001 - 2000
Masyarakat
Ki Ageng Wonokusumo
Memohon ampun kepada Tuhan atas dosa sanak keluarga yang telah meninggal agar mendapat ketentraman di akhirat.
Mendekatkan diri kepada Tuhan, menghormati leluhur, dan meningkatkan kebersamaan warga masyarakat dalam mengelola dan menjaga kebersihan lingkungan desa.
pada saat Kerajaan Majapahit berperang melawan Kerajaan Demak yang mengakibatkan Kerajaan Majapahit runtuh, salah seorang putra dari garwa selir Prabu Brawijaya yang bernama Ki Ageng Wonokusumo tidak mau tunduk kepada Kerajaan Demak. Ia kemudian melarikan diri menuju Jawa Tengah. Disamping bertujuan untuk mengungsi juga atas anjuran Prabu Brawijaya bahwa wahyu keraton akan berpindah dari Jawa Timur ke Jawa Tengah untuk selama-lamanya. Oleh karena itulah maka putranya yang bernama Ki Ageng Wonokusumo menuruti nasehat Prabu Brawijaya, mereka pergi ke Jawa Tengah disamping mengungsi juga akan mencari wahyu keraton tersebut. Selanjutnya Ki Ageng Wonokusumo melaksanakan perintah Prabu Brawijaya mencari wahyu kraton sampai di Giring. Namun mereka tidak dapat menemukan wahyu itu, dan ia tahu bahwa wahyu telah jatuh kepada Ki Ageng Giring. Mengetahui bahwa wahyu jatuh ke Giring maka kemudian Ki Ageng Wonokusumo pergi meninggalkan daerah Giring. Perjalanan Ki Ageng Wonokusumo Akhirnya sampai di desa Wonoketoro dan beliau kemudian bertempat tinggal di desa ini. Desa Wonoketoro ini kemudian dikenal dengan nama Wonontoro. Beliau berbaur dengan warga masyarakat sekitarnya menjadi seorang petani biasa. Di dalam kehidupan sehari-harinya mereka lebih pintar dari pada masyarakat biasa. Disamping itu mereka juga sangat baik hati, dan suka menolong pada sesama. Oleh karena itu maka Ki Ageng Wonokusumo dianggap sebagai cikal bakal, pengayom, sekaligus sebagai pemimpin bagi masyarakat desa tersebut.
Pada suatu hari ia bertapa di puncak bukit sebuah hutan yang nantinya bernama Wonontoro. Pada suatu hari, kala itu hari Kamis Legi, Ki Ageng Wonokusumo yang berada di tengah hutan, tiba-tiba moksa, dan tidak tampak lagi di hutan. Kelak di kemudian hari untuk mengenang Ki Ageng Wonokusumo, tiap hari Kamis Legi atau Senin Legi sekitar tanggal 25 di bulan Madilakir dilaksanakan selamatan. Selamatan ini bertujuan untuk mengenang jasa-jasa ki Ageng Wonokusumo. Selanjutnya hingga kini tradisi ini masih dilaksanakan dan dikenal dengan nama Madilakiran Wonontoro.
Pada pagi hari puncak upacara para warga masyarakat pendukungnya yang berasal dari wilayah Desa Jatiayu khususnya Dusun Wonontoro dan Gedangrejo sudah mulai berdatangan dengan membawa sesaji Madilakiran yang berupa antara lain: nasi ambeng, panggang ayam, dan abon-abon (berupa sirih/gantal, tembakau, rokok, dan uang/wajib). Sesaji ini diterima oleh petugas yang telah ditunjuk oleh panitia kemudian diletakan di meja yang telah disediakan. Sementara itu para pengunjung dan para tamu undangan sudah mulai berdatangan. Kira-kira pada pukul 12.00 selamatan atau wilujengan Madilakiran dimulai, acara diawali dengan sambutan ketua panitia, dilanjutkan dengan sambutan-sambutan dari: Kepala Desa Jatiayu, Camat Karangmojo, dan Dinas Pariwisata Gunung Kidul. Setelah sambutan-sambutan dilanjutkan dengan ikrar atau ujub dari selamatan Madilakiran ini yang disampaikan oleh jurukunci dan dilanjutkan dengan doa oleh modin. Adapun tujuan dari wilujengan Madilakiran ini sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rakhmat yang telah dilimpahkan-Nya, selain itu juga untuk mengenang jasa-jasa Ki Ageng Wonokusumo sebagai cikal bakal yang telah berjasa dalam membimbing masyarakat Wonontoro.
Setelah ikrar dan doa selesai, kemudian dilakukan pembagian sesaji kepada semua pengunjung. Mereka percaya bahwa dengan mendapatkan salah satu sesaji itu maka semua yang diinginkan akan terkabul, baik itu dalam hal pangkat, drajat, pertanian, perdagangan, kesehatan dan lain sebagainya. Dengan selesainya acara pembagian sesaji ini menandai berakhirnya seluruh rangkaian tradisi Madilakiran Wonontoro. Selain itu mereka merasa lega, bahagia dan bersyukur karena telah melaksanakan satu kuwajiban peninggalan para leluhur mereka yang akan selalu dilaksanakannya setiap tahunnya.
Tidak ada gambar.
Tidak ada video.
-
Tahun Data | : | 2019 |
Terakhir Update | : | 09 Desember 2019 - 19:12:04 |