Tunggul Wulung atau Bersih Desa Sendang Agung
-
Aktif
paguyuban tunggulwulung
Kepala Desa
50
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Sleman
Minggir
Sendangagung
Dusun Dukuhan XIII Jalan -
-
-
Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
-
Tidak Ada
Jumat Pon
Makam Ki Ageng Tunggul Wulung, yaitu di Dusun Dukuhan XIII
-
Milik Sendiri
Sedang
- Goci dan sloki, sebagai wadah minuman yang dipersembahkan bagi Ki Ageng Tunggul Wulung, - Padi satu unting, sebagai lambang hasil panenan yang berlimpah, - Gamelan laras slendro, untuk mengiringi tarian ledhek, selendang atau sampur
Milik Sendiri
Baik
1001 - 2000
Masyarakat, Pemerintah
Ki Ageng Tunggul Wulung, yang dipercayai sebagai leluhur dari Kerajaan Majapahit
Memohon keselamatan dan kesejahteraan kepada Yang Maha Agung, terhindar dari serangan hama, sehingga dapat diberikan hasil yang berlimpah.
Meningkatkan rasa keutuhan dan persatuan warga, kebersihan lingkungan.
Upacara adat Tunggul Wulung atau Bersih Desa Sendang Agung dilaksanakan di lokasi "makam" Ki Ageng Tunggul Wulung, yaitu di Dusun Dukuhan XIII, Desa Sendang Agung, Kecamatan Minggir, Sleman. Selain itu, juga diadakan upacara di rumah Juru Kunci "makam" tersebut. Dalam kaitannya dengan prosesi upacara adat, sebenarnya ada juga tempat lain yang dapat disebutkan, yaitu Dusun Dero (Desa Sendang Agung, Minggir, Sleman) sebagai tempat awal sebelum dilakukan kirab menuju ke Dusun Dukuhan XIII. Upacara adat secara umum dipimpin oleh Juru Kunci dalam hal penentuan waktu upacara, orang-orang yang terlibat, dan persiapan upacara. Khusus pemimpin kenduri, di makam, dipimpin oleh Juru Kunci dan di rumah Juru Kunci, dipimpin oleh Kaum atau Rois. Kirab upacara adat Tunggul Wulung ini mempunyai prosesi tersendiri, yaitu: 1. Prajurit dan Dusun Dukuhan berjumlah 40 orang dengan manggalayuda, 2. Kelompok kesepuhan Dukuhan berjumlah 7 orang, 3. Para pemikul pusaka pemberian Ki Ageng Tunggul Wulung, 4. Klangenan Ki Ageng antara lain: perkutut, gemak, macan, ular, dan lain-lain, 5. Prajurit pembawa pusaka pengiring, diantaranya: prajurit dari Dusun Dukuhan XII berjumlah 30 orang yang dipimpin oleh seorang pandega (komandan) prajurit dengan membawa pedang-tameng, 6. Penabuh drum, simbal, dan trompet berjumlah 10 orang, 7. Para pemikul sesaji (dari RT/RW Tengahan X, XI, XII, dan Dukuhan serta dari tingkat desa dan kecamatan), 8. Kelompok Jathilan, dari Minggir II Jati Kebar, 9. Arak-arakan hasil bumi dengan dimuat dalam keseran yang dihias, dari Dukuhan X, XI, dan XII, Tengahan, Diro, petani sekitar Desa-desa se Kecamatan Minggir 10. Kelompok kesenian dari Brajan, 11. Para kepala desa dan punggawa kecamatan, 12. Kelompok kesenian Trengganon dari Parakan Sendang Sari, 13. Para kepala dusun Sendang Mulyo dan Sendang Agung yang berbusana kejawen lengkap, 14. Jathilan Jawa dari Kedung Prau Sendangrejo (Minggir) berbusana wayang orang lengkap, 15. Warga masyarakat dan tokoh masyarakat Dukuhan berbusana kejawen lengkap, 16. Jathilan Rapak dari Keliran, 17. Warga masyarakat pendherek dari Diro dan tokoh-tokoh masyarakat pembawa hasil bumi, 18. Jathilan dari Plembon, dan 19. Warga masyarakat umum. Pada akhir upacara, biasanya diselenggarakan pagelaran wayang kulit dengan lakon cerita "Makukuhani" atau "Sri Mulih" atau "Sri Boyong" yang mengisahkan legenda Dewi Sri sebagai lambang kemakmuran agar terus bersemayam di dusun tersebut.
Tidak ada gambar.
Tidak ada video.
Asal mula upacara adat Tunggul Wulung sebagai berikut pada masa surutnya Kerajaan Majapahit, salah seorang senopati perangnya, yaitu Kyai Tunggul Wulung meninggalkan kerajaan. Bersama ketujuh pengawal dan istrinya Raden Ayu Gadhung Mlathi dan disertai abdi kinasih yang bernama Nyai Dakiyah kemudian mendirikan pesanggrahan di dusun Tengahan. Pada suatu saat, ketika melakukan tapa di bawah pohon Timoho di tepi sungai Progo, Kyai Tunggul Wulung beserta pengawal dan istrinya hilang beserta raganya (muksa). Tempat muksa Kyai Tunggul Wulung sekarang dikeramatkan menjadi tempat berziarah atau melakukan tapa semedi untuk mencari wangsit. Legenda tentang Kyai Tunggul Wulung berlanjut dengan legenda tayuban ledhek. Tradisi ini bermula dari adanya seorang ledhek yang ingin mencari penglarisan di tempat peninggalan Kyai Tunggul Wulung, tetapi ledhek itu menghilang tanpa sebab yang jelas. Masyarakat percaya, bahwa ledhek tersebut disukai oleh Kyai Tunggul Wulung, oleh karena itu setiap pelaksanaan upacara adat Tunggul Wulung selalu disertai pentas ledhek diiringi gendhing sekar gadhing.
Nama upacara adat Tunggul Wulung berasal dari nama tokoh yang dimitoskan di wilayah itu, yaitu Kyai Tunggul Wulung, Seorang tokoh kharismatik berasal dari kerajaan Majapahit, ia tinggal di Desa Tengahan beserta istrinya yang bernama Raden Ayu Gadhung Mlathi. Lokasi pelaksanaan upacara ini bertempat di Dusun Tengahan, Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Waktu pelaksanaan upacara setiap tahun pada hari Jumat Pon bulan Agustus. Adapun tujuannya sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Minggir atas rakhmat Tuhan Yang Maha Esa berupa panen yang melimpah di Dusun Tengahan. Rasa syukur ini dikaitkan dengan penghormatan tokoh yang pernah tinggal di Desa Tengahan, yaitu Kyai Tunggul Wulung, yang telah mensejahterakan masyarakat di desa tersebut
Tahun Data | : | 2019 |
Terakhir Update | : | 14 November 2018 - 23:16:16 |