Gunung Genthong
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Lokasi tidak diketahui
Lokasi tidak diketahui
Lokasi tidak diketahui
-
Dusun Jalan
Prabu Brawijaya, Ratu Mayangsari, Ki Juru Sawah, Raden Patah,
Prabu Brawijaya V atau Brawijaya Pungkasan (terakhir), mempunyai seorang permaisuri dan beberapa orang selir. Salah seorang selir bernama Ratu Mayangsari mengandung dan sang Prabu menitipkannya kepada salah seorang petani yang tinggal di desa bernama Ki Juru Sawah. Beberapa bulan kemudian, Ratu Mayangsari melahirkan seorang putera dan diberinya nama Raden Patah. Singkat cerita, Raden Patah beranjak remaja, dan secara diam-diam mengikuti Ki Juru Sawah yang akan pergi ke kerajaan untuk mempersembahkan upeti berupa sebagian dari hasil sawahnya kepada Raja, . Sesampai di istana, Ki Juru Sawah langsung menghadap raja untuk menghaturkan upeti. Sementara Raden Patah yang mengikutinya dari belakang, mulai berkeliling untuk melihat istana raja. Ia yang sekali pun belum pernah ke istana, merasa kagum melihat barang-barang serba indah yang ada di sana. Tanpa menghiraukan tata-krama istana, Raden Patah masuk ke sebuah gedung tempat menyimpan pusaka dan memukul gong pusaka sehingga suaranya menggelegar. Mendengar suara gong pusaka, Prabu Brawijaya terkejut lalu memerintahkan Mahapatihnya, untuk melihat siapa orang yang telah berani memukul pusaka itu tanpa seizinnya. Setelah mendapat perintah tersebut, sang Mahapatih lalu bergegas menuju gedung pusaka dan melihat seorang anak muda. Sang Mahapatih memanggil anak muda tersebut dan membawanya ke istana untuk melapor pada raja. Setelah Raden Patah dibawa menghadap baginda raja, Ki Juru Sawah yang juga masih di tempat itu menjadi terkejut sekali. Ia tidak menyangka kalau Raden Patah mengikutinya ke kota. Sang Prabu kemudian memerintahkan untuk menghukum anak muda tersebut. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, Ki Juru Sawah akhirnya membeberkan siapa sebenarnya anak muda tersebut. Setelah mendengarkan penjelasan dari Ki Juru Sawah, akhirnya Sang Prabu mengetahui bahwa Raden Patah adalah anaknya sendiri dari salah seorang selirnya. Sang prabu kemudian meminta Raden Patah untuk tinggal di istana Majapahit. Selama tinggal di keraton, Raden Patah dengan tekun mempelajari berbagai macam ilmu, sehingga mampu menguasai ilmu olah kanuragan dan ilmu kenegaraan. Oleh karena itu, Prabu Brawijaya lalu mengutusnya untuk mengepalai wilayah jajahan Majapahit di Palembang. Setelah beberapa tahun menjadi kepala wilayah jajahan di Palembang, pada suatu malam Raden Patah bermimpin didatangi dan di-Islamkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Di dalam mimpinya itu Kanjeng Sunan Kalijaga berpesan agar Raden Patah harus kembali ke tanah Jawa untuk menengkok Sang Prabu yang kini telah lanjut usianya sekalian membawa prajurit berjumlah seratus empat puluh orang. Setelah sampai di Tanah Jawa agar tidak langsung menuju Majapahit, tetapi tinggal di daerah Glagahwangi dan mendirikan sebuah masjid di tempat itu. Beberapa hari kemudian berangkatlah Raden Patah ke tanah Jawa, dengan membawa prajurit berjumlah seratus empat puluh orang. Setelah menempuh perjalanan yang panjang, sampailah rombongan itu di daerah Glagahwangi yang masih berupa hutan. Di hutan itu, Raden Patah beserta rombongannya mulai membangun sebuah masjid. Oleh karena daerah Glagahwangi masih termasuk wilayah Kerajaan Majapahit, maka Raden Patah merasa perlu menjumpai ayahnya, untuk meminta izin. Maka Raden Patah beserta para pengiringnya berangkat ke Majapahit untuk menghadap Prabu Brawijaya. Kedatangan Raden Patah diketahui oleh telik sandi Majapahit dan dilaporkan kepada Sang Prabu Brawijaya. Karena mengira bahwa Raden Patah akan menyerang Kerajaan Majapahit maka sang Prabu disertai permaisui dan pengiringnya meninggalkan istana menuju ke arah barat hingga sampai di wilayah Gunung Kidul. Di tempat itu, sang Prabu menyuruh para pengiringnya membuka hutan dan mendirikan sebuah pedukuhan. Pedukuhan ini sekarang telah menjadi sebuah desa yang bernama Desa Gagang. Saat Raden Patah beserta pengiringnya tiba di ibukota Majapahit, ia kecewa karena kerajaan telah kosong. Oleh karena itu, Raden Patah beserta pengiringnya berusaha menyusul ayahandanya ke Gunungkidul. Setelah beberapa saat lamanya bermukim di Gunungkudul, Prabu Brawijaya mendengar berita bahwa rombongan Raden Patah mengikutinya. Prabu Brawijaya yang yakin bahwa puteranya itu akan menyerang, kemudian pindah lagi ke sebuah bukit. Di tempat yang baru itu ia mendirikan sebuah padepokan yang saat ini telah menjadi sebuah desa yang bernama Manggung. Namun, setelah tinggal di bukit itu, sang Prabu beserta para pengawalnya menghadapi kesulitan. Di puncak bukit tidak ada sumber air, sehingga setiap ia dan permaisurinya memerlukan air, terpaksa pengawalnya harus pergi ke sumber air yang terletak di kaki bukit. Sementara itu, Raden Patah yang berusaha menyusul telah sampai di Gunung Nglompong. Di daerah Gunung Nglompong ini ia mendapat keterangan dari penduduk bahwa Prabu Brawijaya bersembunyi di puncak bukit Manggung. Raden Patah juga mengetahui, bahwa di tempat persembunyiannya Prabu Brawijaya sering mengalami kesulitan karena tidak ada air. Oleh sebab itu, dengan kemampuan luar biasa yang dimiliki, Raden Patah lalu melemparkan sebuah genthong atau padasan yang penuh berisi air ke puncak Bukit Manggung. Sewaktu sang Prabu secara tiba-tiba mendapati sebuah padasan yang telah berisi air di depan pondoknya, ia yakin bahwa itu adalah “ulah” anaknya. Ia menyangka Raden Patah sedang mengejeknya dengan memberikan genthong yang penuh berisi air yang memang sangat dibutuhkannya. Oleh karena itu, sang Prabu beserta permaisuri dan para pengawalnya meninggalkan bukit Manggung untuk mencari tempat persembunyian yang lain. Sejak saat itu, bukit tempat Prabu Brawijaya yang dilempari sebuah genthong oleh Raden Patah dinamakan sebagai Gunung Genthong. Sampai saat ini genthong “pemberian” Raden Patah itu masih ada namun dindingnya sudah retak-retak, sehingga tidak dapat lagi digunakan untuk menampung air. Begitulah, terus-menerus Sang Prabu Brawijaya senantiasa melarikan diri dan bersembunyi, sedangkan Raden Patah pun terus mencari dan berusaha menjumpai. Sampai suatu saat sang Prabu dapat tersusul oleh Raden Patah. Singkat cerita, setelah mendengar penjelasan Raden Patah, maka seluruh kesalah-pahaman diantara mereka pun dapat diselesaikan. Kepada puteranya, Sang Prabu mengatakan bahwa ia mengijinkan Raden Patah untuk mendirikan masjid dan kraton di Glagahwangi, namun Sang Prabu tidak bersedia untuk mengikuti ajaran Islam. Raden Patah lalu melanjutkan rencananya membangun masjid di Glagahwangi. Bahkan, sesuai dengan nasihat yang diterimanya, ia pun mulai mendirikan kraton. Saat keraton selesai di buat, barang-barang dari Keraton Majapahit lalu dipindahkan ke keratonnya yang dinamakan Demak Bintara.
Tidak ada gambar.
Tidak ada video.
-
Tahun Data | : | 2019 |
Terakhir Update | : | 11 Januari 2016 - 11:19:05 |