Peristiwa Sejarah

Peristiwa Sejarah Trihanggo


Kabupaten : Sleman
Kecamatan : Gamping
Kelurahan : Trihanggo

01.   Pengertian tentang Sejarah Desa Trihanggo
Sejarah suatu tempat merupakan hal yang penting sebagai bagian dari perkembangan suatu wilayah, sebab pada hakekatnya sejarah suatu tempat merupakan gambaran karakteristik perkembangan yang telah terjadi disuatu wilayah.
Sejarah Desa Trihanggo adalah segala perisiwa yang terjadi di suatu wilayah yang kemudian dikenal sebagai wilayah Desa Trihanggo, sehingga dengan demikian catatan sejarah Desa Trihanggo diharapkan dapat memberi gambaran tentang suatu masa pada suatu tempat, dan ada dan keberadaannya tersebut diakui oleh pihak lain dan atau setidaknya diakui oleh pihak penyelenggara pemerintahan yang berlaku pada saat itu.
Sejalan dengan pengertian tersebut diatas, yang dimaksud dengan Sejarah Desa Trihanggo adalah suatu catatan keadaan atau rentetan peristiwa  pada suatu masa di suatu  wilayah perdesaan yang kemudian dikenal dengan sebutan Desa Trihanggo. Suatu keadaan yang menggambarkan kelompok kehidupan dengan tata dasar kehidupan bermasyarakat dalam batas wilayah yang jelas dan keberadaan daerah serta kelompok masyarakat dengan tatanan kehidupan tersebut diakui oleh pihak lain.
Dalam pengertian sehari-hari, Yang dimaksud dengan sejarah Desa Trihanggo adalah segala peristiwa yang pernah terjadi disuatu wilayah yang kemudian dikenal sebagai Desa Trihanggo.
02         Sejarah Desa Trihanggo dari Sisi Peristiwa Pertanahan
02.01Sejarah Desa Trihanggo berdasarkan data awal Pertanahan
Sejak zaman Majapahit ditanamkan keyakinan bahwa tanah di wilayah kerajaan adalah milik Raja dan dipergunakan untuk lungguh para Nayaka, Para Pembesar daerah dan para pegawainya. Rakyat hanya mempunyai hak menggarap atas tanah-tanah lungguh tersebut. Sebagai penggarap, rakyat berhak atas sebagian dari hasil pertanian, Sedangkan sebagian lainnya harus diserahkan kepada pejabat pemilik tanah lungguh, kepada Bekel (Kepala Desa), kepada Demang, kepada Bupati dan kepada Kas Kraton sebagai pajak.
02.02Sejarah Pertanahan pada Zaman Kasultanan Yogyakarta
Kasultanan Yogyakarta lahir dari tercapainya perdamaian antara Susuhunan PB.III dan Pangeran Haryo Mangkubumi (yang kemudian bergelar Sri Sultan HB.I), berlangsung di Desa Gianti pada tanggal 13 Februari 1755. Dengan terbaginya Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta ini berdampak pada timbulnya suasana baru dan corak baru. Hal yang demikian ini meliputi pula dalam bidang pemerintahan, kebudayaan dan kesenian.
Penataan kewilayahan Kasultanan Yogyakarta menyatakan bahwa Kasultanan terdiri atas 3 daerah, yaitu:
A.      Nagoro, adalah daerah pusat pemerintahan sekaligus tempat tinggal sultan dan para pembesar kerajaan. Daerah ini pada masa sekarang lebih dikenal sebagai Daerah Ibukota Kerajaan.
B.      Nagoro Gung, adalah daerah yang merupakan tanah lungguh para pembesar kerajaan, dan Sleman adalah termasuk didalam daerah Negoro Gung.
C.      Monco Nagoro, adalah daerah yang merupakan pemajengan Dalem, dikuasai oleh para Bupati. Daerah yang termasuk dalam Monco Nagoro ini antara lain Kedu, Purworejo, Kutoarjo, Kebumen dan Banyumas.
Pada masa awal Kerajaan Kasultanan Yogyakarta, sebagai tindak lanjut dari Perjanjian Gianti, Pangeran Mangkubumi  memulai kegiatannya membangun kasultanan Yogyakarta berbasis di Pesanggrahan Ambarukmo, kemudian seiring perjalanan waktu Pangeran Mangkubumi berpindah dari Ambarukmo ke Ambarketawang. Dari pesanggrahan di Ambarketawang ini Pangeran Mangkubumi mengatur wilayah dan menyiapkan sarana dan prasarana Kraton termasuk tempat tinggal sultan dan para pembesar kerajaan di Hutan Beringan (Lokasi Keraton kasultanan Yogyakarta pada saat ini).
Pada akhirnya, Pangeran Mangkubumi jumeneng sebagai Sultan Yogyakarta dan bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono. Pada masa Pemerintahan Sri Sultan HB.I sampai dengan Sri Sultan HB.VII, para Nayaka, Para Pembesar daerah dan pegawai diberi gaji berupa Hak Anggaduh tanah yang kemudian disebut sebagai tanah lungguh. Para nayaka dan pegawai tersebut juga mendapat uang tetempuh dari Pemerintahan Hindia Belanda.
Salah satu contoh pejabat kerajaan yang memiliki tanah lungguh adalah Patih Dalam (Pepatih Dalem). Pepatih Dalem dan para pegawainya memiliki tanah lungguh yang terletak di daerah Mentawis, yaitu tanah yang terletak diantara Kali Progo (batas Barat) dan Kali Opak (Batas Timur).
Peraturan pemberian gaji oleh Kerajaan berupa tanah lungguh dan pemberian uang tetempuh oleh Pemerintahan Hindia Belanda berlaku sampai dengan Tahun 1914 yaitu pada waktu “Apanange Stelsel” dihapus dan dibentuk kalurahan-kalurahan sebagai badan hukum.
02.03Pertanahan di Era Pembentukan Kalurahan sebagai Badan Hukum
Pembentukan Kalurahan-kalurahan sebagai badan hukum di wilayah Kasultanan Yogyakarta, secara yuridis formal dibentuk secara bersamaan, namun pada pelaksanaannya pembentukan Kalurahan-kalurahan di daerah-daerah tidak serta merta dapat dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
a.       Adanya kepentingan dari berbagai pihak yang ingin tetap mempertahankan sistem “Apanange Stelsel”. Hal ini karena sudah berlangsung lama Bupati, wedana, kuwu, Demang dan bekel menjadi pelaksana langsung penerapan sistem apanange stelsel dan sistem perkebunan swasta penanaman modal bangsa asing.
b.      Kalurahan sebagai badan hukum adalah hal yang baru dan belum pernah ada sebelumnya, sehingga diperlukan sumber daya manusia yang sesuai dan memadai sebagai penyelenggara pemerintahan kalurahan.
Beberapa diantara Kalurahan-kalurahan yang dibentuk sebagai tindak lanjut dari penghapusan “Apanange Stelsel” adalah Kalurahan Kerunggahan(yang pada dekade berikutnya dikenal dengan sebutan Kalurahan Kronggahan), Kalurahan Jambon dan Kalurahan Biru.
02.04Catatan Sejarah berdasarkan Peristiwa Pertanahan
Berdasarkan catatan Peristiwa pertanahan, ternyata di salah satu dari ketiga kalurahan ini, pada tanggal 02 September 1929 telah terdapat peristiwa yang pertama kali mencatat peralihan hak anggaduh tanah, yang secara redaksional memuat nama dan tanda tangan para pihak, nama dan tandatangan Carik Desa dan Lurah Desa, serta mendapat legalitas dari Assistant Wedana Gamping, Wedana Godeyan, Bupati Bantul, Assistant Resident Jogyakarta dan Resident Jogyakarta. Dan juga mendapat legalitas dari Pepatih Dalem.
Hal ini menjadi bukti bahwa secara de facto dan secara de yure pada tanggal 02 September 1929 telah terdapat kegiatan administsrasi di dalam salah satu kalurahan ini, yang memiliki kekuatan hukum dan diakui oleh masyarakat.
Berdasarkan fakta-fakta peristiwa pertanahan tersebut diatas, maka patut diakui bahwa Pada Tanggal 2 September 1929 Wilayah Desa Trihanggo sudah ada dan keberadaannya diakui oleh pihak lain termasuk pihak peenyelenggara pemerintahan ditingkat yang lebih tinggi.
03         Sejarah Kewilayahan
Terdapat beberapa petunjuk bahwa di wilayah desa yang saat ini dikenal dengan wilayah Desa Trihanggo sudah dihuni oleh penduduk yang memiliki tata aturan bermasyarakat sejak awal berdirinya kerajaan Kasultanan Yogyakarta.
Beberapa nama tokoh masyarakat pada saat itu yang dimakamkan di dengan tetenger gelar dan nama pada pusara mengisyaratkan suatu gelar yang diberikan oleh kelompok masyarakatnya kepada seseorang yang berjasa dan memiliki nama besar. Beberapa gelar yang diberikan oleh masyarakatnya tersebut antara lain “Ki Ageng” dan “ Ki Ronggo”. Kedua gelar ini jelas mengisyaratkan bukanlah gelar yang berasal pada zaman kasultanan Yogyakarta tetapi gelar yang ada pada zaman Kerajaan Mataram Islam yang berpusat di Kota Gede. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa penyebutan gelar “Ki Ageng” dan “Ki Ronggo” dan yang semacamnya ini tetap ada pada masa awal proses berdirinya Kasultanan Yogyakarta.
       Beberapa orang yang mengindikasikan hal tersebut antara lain :
a.         Ki Ageng Noto Hadipuro.
Ki Ageng Noto Hadipuro ketika masih kecil bernama Kurawan, menempati suatu perdusunan yang banyak ditumbuhi rumpun bambu di dekat aliran Kali Bedog. Pada akhirnya perdusunan itu disebut sebagai Awen, berasal dari kata “AWI” + akhiran “AN”. “Awi” dalam bahasa sanksekerta  berarti rumpun pohon bambu.  
Ki Kurawan atau Ki Ageng Noto Hadipuro atau yang lebih dikenal dengan Kiai Awen,  semasa hidupnya adalah salah satu prajurit pengikut setia Pangeran Mangkubumi. Ki Kurawan turut terlibat dalam perjuangan Pangeran Mangkubumi dalam Perang Mahkota Jawa Kedua yang berakhir dengan Perjanjian Giyanti tahun 1755.
Ki Kurawan banyak terlibat membantu Pangeran Mangkubumi semasa Beliau Pangeran yang bergelar Sultan Hamengkubuwono Kesatu tersebut masih bermukim di Pasanggrahan Ambarketawang.
Tokoh ini mendapat gelar Ki Ageng Noto Hadipuro karena pengabdiannya kepada Pangeran Mangkubumi pada tahap awal pembangunan pemerintahan Kerajaan Kasultanan Yogyakarta.
b.        Kyai Badaruddin, adalah seorang prajurit yang berasal dari kerajaan Demak, sengaja datang ke wilayah Kasultanan Yogyakarta untuk bergabung membantu perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Setelah Perang Diponegoro dapat dipadamkan oleh Belanda, para pengikutnya menyebar ke segenap pelosok wilayah desa untuk bertempat tinggal dan berbaur dengan masyarakat setempat dengan tujuan menghindari upaya penangkapan terhadap para pengikut pangeran Diponegoro yang dilakukan oleh Pasukan Kumpeni Belanda. Banyak prajurit Pangeran Diponegoro yang kemudian lebih memilih syiar agama, pada saat itu Kyai Badaruddin memilih berlindung di Masjid Pathok Negara Padukuhan Mlangi. Pada saat situasi sudah tenang, Kyai Badaruddin dan istrinya berpindah domisili dari Mlangi dan kemudian menetap di Padukuhan Ngawen sampai beliau wafat.
04         Hubungan Sejarah Kalurahan Trihanggo dengan kabupaten Bantul
04.01 Kalurahan Kerunggahan, Kalurahan Jambon dan Kalurahan Biru dibentuk sebagai  tindak lanjut dari penghapusan Apanange Stelsel Tahun 1914, termasuk dalam wilayah
Kabupaten                       : Bantul
District                               : Godeyan
Onderdistrict                   : Gamping
Sehingga dengan demikian, sejarah awal wilayah Desa Trihanggo lebih banyak berkaitan dengan peristiwa Sejarah Wilayah Pemerintahan Kabupaten Bantul.
04.02 Pada tanggal 27 september 1830, ditetapkan Perjanjian Klaten. Suatu perjanjian antara Sunan PB.VII dan Sri Sultan HB.V yang berisi tentang penegasan batas wilayah antara Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Tindak lanjut dari Perjanjian Klaten ini, pada tanggal 31 Maret 1831 wilayah kasultanan Yogyakarta dibagi atas 3 kabupaten, yaitu :
a.          Kabupaten Bantul Karang
b.         Kabupaten Denggung
c.          Kabupaten Kaelasan
Pada masa ini Kalurahan Kerunggahan, Kalurahan Jambon dan Kalurahan Biru termasuk dalam daerah Kabupaten Bantul Karang.
04.03 Pada 1909, dilakukan penataan wilayah kasultanan Yogyakarta yang menyatakan bahwa wilayah Kasultanan Yogyakarta dibagi atas 6 kabupaten, yaitu:
a. Kabupaten Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan
b. Kabupaten Bantul
c. Kabupaten Kaelasan
d. kabupaten Denggung
e. Kabupaten Kulonprogo ( daerah Kulonprogo bagian selatan dan gunungkidul)
f. Kabupaten Adikarto, yang merupakan wilayah Kadipaten Pakualaman.
Pada masa ini Kalurahan Kerunggahan, Kalurahan Jambon dan Kalurahan Biru termasuk dalam daerah Kabupaten Bantul
05         Wilayah Desa Trihanggo
Nama TRIHANGGO pada awalnya bernama TRIHONGGO, berasal dari 2(dua) suku kata yaitu TRI (artinya Tiga) dan HONGGO (artinya tubuh).
Nama Desa TRIHONGGO dapat ditemui pada teraan nama desa pada stempel dinas KALURAHAN TRIHONGGO, suatu stempel resmi yang pertama kali digunakan secara sah untuk kegiatan administrasi pemerintahan Desa Trihanggo.
Wilayah Desa Trihanggo adalah merupakan penggabungan dari  3(tiga) kalurahan, yaitu Kalurahan Kerunggahan (yang terdiri dari Dusun Kronggahan I, Kronggahan II dan Ngawen), Kalurahan Jambon (yang terdiri dari Dusun Mayangan, Trini, Baturan, Jambon, Bedog dan sebagian Padukuhan Salakan) dan Kalurahan Biru (terdiri dari sebagian Dusun Salakan, Nusupan, Biru dan panggungan). Pada kenyataannya, Wilayah Desa Trihanggo adalah identik dengan kesatuan 3(tiga) wilayah kalurahan tersebut diatas.
Keidentikan yang dimaksud meliputi semua bidang, antara lain:
1.       Jumlah padukuhan
2.       Nama-nama tempat, nama-nama bulak dan nama-nama Padukuhan.
3.       Luas dan Batas wilayah.
4.       Sumberdaya alam.
5.       Sumber daya manusia.
6.       Penduduk.
7.       Norma-norma dan psikologi masyarakat.
Dengan keidentikan tersebut, Sejarah Wilayah Desa Trihanggo tidak dapat disebut sebagai berdiri sendiri, tetapi melekat dan merupakan kelanjutan dari sejarah Kalurahan Kerunggahan, Kalurahan Jambon dan Kalurahan Biru.
06         Jabatan dan Nama-nama Pejabat Kalurahan Lama
06.01        Kalurahan Kerunggahan
Dalam menjalankan pemerintahan, di Kalurahan Kerunggahan terdapat beberapa jabatan, yaitu:
a.       Lurah ………………………………………..      1  orang
b.      Carik …………………………………………       1  orang
c.       Kamituwo …………………………………      1 orang
d.      Gebayan ……………………………………     1  orang
e.      Jogoboyo …………………………………..    2  orang
f.        Ulu-ulu ………………………………………     1 orang
g.       Kahum……………………………………….     1 orang
Beberapa orang  yang pernah menjabat sebagai Perangkat di Kalurahan Kerunggahan, antara lain :
01.   Harjodikoro, Kronggahan I
02.   Kertowiharjo, Kronggahan I
03.   Jogodimejo, Kronggahan I
04.   Kartorejo, Ngawen
05.   Joyowigeno, Ngawen
06.   Slamet, Krongahan II
07.   Somodiwiryo, Kronggahan I
08.   Resowiharjo, Kronggahan I
09.   Wongsodikromo, Kronggahan II
10.   Wongsodikoro, Kronggahan II
11.   Ronorejo, Kronggahan II
12.   Pawirosentono, Ngawen
13.   Kariyorejo, Kronggahan
14.   Kertodinomo, Kronggahan
15.   Kromosentono, Kronggahan
16.   Kasandimejo, Kronggahan
17.   Selodimejo, Kronggahan.
18.   Mulyopawiro, Kronggahan I.
06.02Kalurahan Jambon
Dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kalurahan jambon terdapat beberapa jabatan, yaitu:
a.       Lurah ………………………………………..      1  orang
b.      Carik …………………………………………      1  orang
c.       Kamituwo …………………………………      1 orang
d.      Gebayan ……………………………………     1  orang
e.      Jogoboyo …………………………………..    3  orang
f.        Ulu-ulu ………………………………………     2 orang
g.       Kahum……………………………………….     1 orang
     Beberapa orang  yang pernah menjabat sebagai Perangkat di  Kalurahan Jambon, antara lain :
01.   Josemito,
02.   Pawirodiwiryo
03.   Wongsodiwiryo
04.   Wongsoharjo, Baturan Lor
05.   Pawirosono
06.   Mertorejo, jambon
07.   Wonodimejo, Jambon
08.   Surodiryo, Jambon
09.   Cokrorejo, jambon
10.   Josemangun
11.   Todimejo
12.   Topawiro
13.   Harjopawiro, Baturan Lor
14.   Kartosentono, Bedog
15.   Wongsodimejo, Trini
16.   Kartorejo, Donokitri
17.   Wongsosentono, Trini
18.   Kariyodimejo, Jambon
19.   Ranusetiko, Mayangan
20.   Torejo, Mayangan
21.   Ngadimun, Bragasan
22.   Dimopawiro, Bragasan
23.   Wongsopawiro, Ngenthak
24.   Kromorejo, Bedog
25.   Jogodimejo, Bedog
26.   Kromodikoro, Baturan Kidul
Pada tahun 1927 sampai dengan tahun 1929, kalurahan Jambon dipimpin oleh Lurah bernama Topawiro dari Padukuhan Baturan Lor. Pada tahun 1929 Topawiro digantikan oleh Surodiryo dari Padukuhan Jambon, yang menjabat sebagai Lurah sampai dengan tahun 1936. Dalam menjalankan pemerintahannya Lurah Surodiryo dibantu oleh Carik bernama Sastrodiharjo dari Padukuhan Jambon..
Surodiryo berhenti tahun 1936 digantikan oleh Lurah bernama Josentono, yang menjabat sebagai Lurah pada tahun 1936 s.d 1948. Beliau dibantu oleh seorang Carik bernama Joyodisastro dari padukuhan Bedog.
06.03        Kalurahan Biru
Dalam penyelenggaraan pemerinahan di Kalurahan Biru terdapat beberapa jabatan, yaitu:
a.       Lurah ………………………………………..      1  orang
b.      Carik …………………………………………       1  orang
c.       Kamituwo …………………………………      1 orang
d.      Gebayan ……………………………………     1  orang
e.      Jogoboyo …………………………………..    3  orang
f.        Ulu-ulu ………………………………………     1 orang
g.       Kahum……………………………………….     1 orang
Dalam penyelenggaraan pemerintahan Kalurahan Biru tercatat beberapa orang  yang pernah menjabat sebagai Perangkat Kalurahan, antara lain :
01.   Atmodiharjo,
02.   Surorejo,
03.   Joyodikromo,
04.   Surodikoro,
05.   Mangunwijoyo
06.   Wongsoharjo,
07.   Jowiryo,
08.   Cokropawiro,
09.   Wiryoharjo,
10.   Mertoijoyo,
11.   Wongsodikromo,
12.   Kariyorejo,
13.   Pawirorejo,
14.   Dipodimejo,
15.   Ranudimejo,
16.   Karyodimejo,
17.   Setroikromo,
18.   Pawirodinomo,
19.   Martopawiro,
20.   Martopawiro,
21.   Atmopawiro,
22.   Kromodimejo,
23.   Kromosentono,
Pada tahun 1929 sampai dengan tahun 1935, Kalurahan Biru dipimpin oleh Lurah bernama Pawirodiharjo dari Padukuhan Nusupan, dan dibantu oleh Carik Desa bernama Sastrowiharjo.
Pada tahun 1935 Pawirodiharjo digantikan oleh Lurah bernama Sastrowiharjo yang menjabat sampai tahun 1948. Dalam menjalankan roda pemerintahan dibantu oleh Carik bernama Kasah Sastropranoto dari Padukuhan Nusupan.
07         Hubungan Sejarah antara Wilayah Desa Trihanggo dengan Kabupaten Sleman
a.       Rijkblaad No.11 Tahun 1916 tanggal 15 Mei 1916, menyebutkan tentang pembentukan Kabupaten di Wilayah Kasultanan Yogyakarta, yaitu Kabupaten Kae lasan, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sulaeman.
Kabupaten Sulaeman pada saat itu membawahi 4 distrik yang terdiri atas 211 Kalurahan,  yaitu: Distrik Mlati (46 Kalurahan), Distrik Klegoeng (52 Kalurahan), Distrik Joemeneng (58 Kalurahan) dan Distrik Gudheyan (55 Kalurahan).
b.      Pada tahun 1927, dengan Rijblaad Nomor 1 Tahun 1927 Kasultanan Yogyakarta melakukan penataan dan pengaturan kewilayahan , yang menyatakan bahwa wilayah Kasultanan Yogyakarta dibagi dalam 4 kabupaten, yaitu Kabupaten Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul dan kabupaten Kulonprogo. Sehingga keberadaan Kabupaten Sleman yang pertama (yang dibentuk berdasarkan Rijkblaad No.11 Tahun 1916) dinyatakan dihapus dan selanjutnya Sleman ditetapkan sebagai Distrik dibawah kabupaten Yogyakarta.
Dalam situasi ini, Kalurahan Kerunggahan, kalurahan Jambon dan Kalurahan Biru termasuk dalam wilayah Kabupaten Bantul. Hal ini dapat diketahui dari catatan dan  Dokumen pertanahan yang dengan jelas terdapat teraan tandatangan sebagai legalitas dan keabsahan dokumen.
Pada era ini, Kalurahan Kerunggahan, Kalurahan Jambon dan Kalurahan Biru termasuk wilayah Kabupaten Bantul. Data dokumen pertanahan menyebutkan dengan jelas mendapatkan legalisasi dari Assisten Wedana Gamping, Wedana Gudeyyan Kabupaten Bantul Resident Jogjakarta.
c.       Pada Tahun 1940, Kasultanan Yogyakarta melakukan penataan ulang pemerintahan dengan menerbitkan Rijblaad Nomor 13 Tahun 1940 tanggal 18 Maret 1940 yang menyatakan bahwa wilayah Kasultanan Yogyakarta membawahi 4 kabupaten, yaitu Kabupaten Yogyakarta(membawahi Distrik Kota dan Distrik Sleman), Kabupaten Bantul (4 Distrik) Kabupaten Kulonprogo (2 Distrik)dan Kabupaten Gunungkidul (3 Distrik).
Pada penetapan ini, sekali lagi Kalurahan Kerunggahan, kalurahan Jambon dan Kalurahan Biru masih termasuk dalam wilayah Kabupaten Bantul.
d.      Pada Tahun 1942, dengan Yogyakarta Kooti Nomor 2, Kasultanan Yogyakarta melakukan reorganisasi pemerintahan kabupaten di wilayah Kasultanan Yogyakarta yang menyatakan bahwa:
d.1  Kabupaten Yogyakarta (3 kawedanan: Kawedanan Kota, Kalasan dan Sleman)
d.2 Kabupaten Bantul (4 Kawedanan: Kawedanan Bantul, Kotagede,Pandak dan Godeyan).
D.3 Kabupaten Gunungkidul (3 kawedanan: Kawedanan Wonosari, Playen dan Semanu).
d.4 Kabupaten Kulonprogo (2 kawedanan: Kawedanan Nanggulan dan Sentolo)
Pada penetapan ini, sekali lagi Kalurahan Kerunggahan, kalurahan Jambon dan Kalurahan Biru termasuk dalam wilayah Kabupaten Bantul.
e.      Pada Tanggal 8 April 1945, dengan ditetapkannya Jogjakarta Koorei Angka 2, Kasultanan Yogyakarta menetapkan bahwa Wilayah kasultanan Yogyakarta dibentuk 5 kabupaten yaitu Kabupaten (syi) Yogyakarta, Kabupaten (Ken) Bantul, Kabupaten (Ken) Gunungkidul, Kabupaten (Ken) Kulonprogo dan Kabupaten (Ken) Sleman.
Ketetapan Jogjakarta Koreei Angka 2 Tahun 1945 ini menjadikan Sleman kembali menjadi  pemerintahan kabupaten dan membawahi 17 kapanewon (Son) yang terdiri atas 258 kalurahan (Ku). Pada saat itu, pusat pemerintahan kabupaten Sleman berada di Kalurahan Triharjo, kapanewon (Son)Sleman, Kabupaten (Ken) Sleman.
Tahun 1949, dengan adanya peristiwa Agresi Militer II telah mengakibatkan pusat pemerintahan Kabaupaten Sleman di Kalurahan Triharjo tidak memungkinkan untuk melakukan kegiatan pemerintahan kabupaten sehingga Bupati KRT Projodiningrat memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Sleman ke Petilasan Dalem Ambarukmo.
Ketetapan Jogjakarta Koreei Angka 2 Tahun 1945 menetapkan Kalurahan Kerunggahan, kalurahan Jambon dan Kalurahan Biru  termasuk dalam wilayah Kabupaten Sleman.
Sehingga dengan demikian, secara administrasi pemerintahan wilayah Desa Trihanggo (yang pada saat itu masih berwujud Kalurahan kerunggahan, Kalurahan Jambon dan kalurahan Biru) menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Sleman adalah terhitung sejak tanggal 8 April 1945.
f.        Pada tahun 1946, sesungguhnya Sri Sultan HB.IX sudah berhasil menata dan melaksanakan sistem pemerintahan yang modern dan teratur. Sistem pemerintahan modern ini mengharuskan Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta menanggung gaji para pegawainya dalam bentuk uang. Hal ini berlaku untuk semua pegawai di tingkat pemerintahan. Sedangkan untuk membayar gaji perangkat kalurahan dipergunakan dengan pemberian hak garap atas tanah yang disebut tanah lungguh. Karena banyaknya perangkat kalurahan yang harus dibiayai disetiap kalurahan, sedangkan jumlah tanah lungguh tidak mencukupi, maka untuk menyikapi permasalahan itu Sri Sultan HB.IX mengeluarkan Maklumat Nomor 5 tahun 1948 tertanggal 19 April 1948 yang pada pokoknya adalah melakukan penggabungan beberapa kalurahan menjadi kalurahan baru.
Penggabungan beberapa kalurahan menjadi kalurahan baru ini lebih dikenal dengan sebutan Blengketan”.
Berdasarkan perintah Sultan, untuk menyikapi pelaksanaan “Blengketan”, telah diadakan rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan yang melibatkan penyelenggara pemerintahan di Kalurahan Kerunggahan, Kalurahan Jambon dan Kalurahan Biru.
Delegasi dari Kalurahan Kerunggahan dipimpin oleh Somodiwiryo selaku Lurah Kerunggahan, delegasi dari Kalurahan Jambon dipimpin oleh Josentono selaku Lurah Jambon dan delegasi dari Kalurahan Biru dipimpin oleh Sastrowiharjo Selaku Lurah Biru, telah menyelenggarakan pertemuan-pertemuan dan rapat-rapat yang khusus membahas tentang pelaksanaan “Blengketan”.
Puncaknya terjadi pada pertemuan Hari Rabu, tanggal 16 April 1947 telah dicapai kesepakatan tentang pelaksanaan “Blengketan”, yang antara lain berisi tentang hal-hal sebagai berikut:
1.         Kalurahan Kerunggahan, Kalurahan Jambon dan Kalurahan Biru, bergabung menjadi satu Kalurahan baru. Penggabungan ini meliputi wilayah dengan batas-batas yang sudah ada pada batas kalurahan-kalurahan lama sehingga dengan demikian dalam penggabungan ini tidak ada penyusutan dan tidak ada penambahan wilayah.
2.        Pemberian nama kepada Kalurahan baru hasil penggabungan Kalurahan Kerunggahan, Kalurahan Jambon dan Kalurahan Biru dengan nama “KALURAHAN TRIHONGGO”. Kata Trihonggo berasal dari kata TRI (artinya tiga) dan HONGGO (artinya Tubuh). Sehingga TRIHONGGO mempunyai arti sebuah makna bahwa DESA TRIHANGGO adalah hasil penyatuan 3 (tiga) kalurahan secara utuh. Lebih tepat dipakai penyatuan 3 kalurahan karena mengandung maksud bahwa pada saat itu ketiga-tiganya (kalurahan yang dimaksud) memiliki unsur lengkap yang sama dan dalam derajat yang sama, yaitu unsur wilayah, unsur penduduk, unsur administrasi dan unsur penyelenggara pemerintahan.
3.       Disetujui tentang pembentukan 15 Kring di wilayah Desa Trihonggo, yaitu:
a.       Kring I, Kronggahan      : Kepala Kring Sastrodiardjo.
b.      Kring II, Kronggahan     : Kepala Kring Ali Muchajat.
c.       Kring III, Kronggahan   : Kepala Kring Ardjosuwarno.
d.      KringIV, Ngawen Tegal                : Kepala Kring Pawiroutomo.
e.      Kring V, Ngawen            : Kepala Kring Djojosudarmo.
f.        Kring VI, Kedon                              : Kepala Kring Siswowijoto.
g.       Kring VII, Mayangan     : Kepala Kring Atmowirjono.
h.      Kring VIII, Trini                                : Kepala Kring Darmohartono.
i.         Kring IX, Baturan            : Kepala Kring Purwodiardjo.
j.        Kring X, Jambon                             : Kepala Kring Tjokrowardojo.
k.       Kring XI, Bedog                               : Kepala Kring Aliwinarto.
l.         Kring XII, Salakan           : Kepala Kring Amat Saleh.
m.    Kring XIII, Nusupan       : Kepala Kring Wiknjohartono
n.      Kring XIV, Biru                 : Kepala Kring Mangunredjo.
o.      Kring XV, Panggungan : Kepala Kring Atmoredjo.
Blengketan yang dilakukan untuk menggabungkan tiga kalurahan yaitu Kalurahan kerunggahan, Kalurahan Jambon dan kalurahan Biru menjadi Kalurahan Trihanggo dirintis sejak awal  tahun 1947 dan baru dapat terwujud tercapai kesepakan pada pertemuan yang dilaksanakan pada Hari Rabu Pon, tanggal 16 April 1947 bertepatan dengan .25 Jumadilawal 1366 H
Desa Trihanggo ditetapkan sebagai Desa (hasil pelaksanaan blengketan) bersama-sama dengan seluruh desa di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Maklumat Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tanggal 19 April 1948.
Sesuai dengan Maklumat No.5 Tahun 1948, Desa yang telah terbentuk sebagai hasil dari blengketan secara resmi dimulai sejak selesainya pembentukan pamong di masing-masing kalurahan. Dan ternyata Desa Trihanggo selesai pembentukan pamong  pada Hari Senin Kliwon tanggal 17 Meil 1948. Bertepatan dengan Tanggal 9 Rajab 1367 H,  Dengan Susunan Penyelanggara Pemerintahan sebagai berikut:
01.   Lurah                                  : Mitrodiharjo., Baturan
02.   Kabag Sosial                     : Sastro Pranoto, Nusupan
03.   Kabag Keamanan           : Atmo Kartono, Baturan
04.   Kabag Kemakmuran     : Poncowiyarjo, Baturan
05.   Kabag Kahum/Igama    : Abdullah Hadi, Baturan
06.   Kabag Umum                  : Sumaryoto, Jambon
07.   Dukuh Kronggahan I     : Sastrodimejo.
08.   Dukuh Kronggahan II   : Arjosuwarno.
09.   Awen                                  : Joyosudarmo.
10.   Mayangan                        : Dirjosentono .
11.   Trini                                     : Wongso sentono.
12.   Baturan                              : Purwodiharjo.
13.   Jambon                              : Cokrowardoyo.
14.   Bedog                                 : Aliwinarto.
15.   Salakan                              : Amat Saleh.
16.   Nusupan                           : Wignyo Hartono.
17.   Biru                                      : Mangunrejo.
18.   Panggungan                     : Atmorejo.
08         Pejabat Pemerintahan
08.01          Orang-orang yang pernah menjabat sebagai Lurah/ Kepala Desa Trihanggo adalah:
2.       Mitrodiharjo, 1948 – 1959
3.       Pujowinoto, 1959 – 1966
4.       Amat Umar, 1966 – 1972
5.       Sukendar Kendro Suharto, 1973 – 2004
6.       Suyadi Harjopiyogo, 2004 – 2009
7.       Herman Budi Pramono, 2009 – sekarang.
08.02          Nama-nama yang pernah memangku jabatan Carik Desa/Sekretaris Desa Trihanggo antara lain:
1.       Sumaryoto, Jambon
2.       Paidi Suro Martono, Jambon
3.       Pujo Winoto,  Jambon.
4.       Sarbini Projo Wiyono, Panggungan
5.       Christina Tjahjaningsih Nugraha Pratangkaswati, Jambon
08.03    Nama-nama yang pernah memangku jabatan Kabag Keamanan/ Kaur Pemerintahan/Kabag Pemerintahan, antara lain:
1.       Atmo Kartono, Baturan
2.       Kismo Hartoyo, Bedog
3.       Suyana Wiharjo, Ngawen
08.04  Nama-nama yang pernah memangku jabatan Kabag Kemakmuran/ Kaur  Pembangunan/Kabag Pembangunan, antara lain:
1.       Poncodiharjo, Baturan
2.       PC. Suhono, Kronggahan I
3.       Nurharyanto, Panggungan
08.05 Nama-nama yang pernah memangku jabatan Kabag Igama/ Kaur Kemasyarakatan/  Kabag Kemasyarakatan, antara lain:
1.       Abdullah Hadi, dari Padukuhan Baturan
2.       Sudarno, Ba dari Padukuhan Mayangan
08.06  Nama-nama yang pernah memangku jabatan Kabag Sosial/ Kaur Keuangan/Kabag Keuangan, antara lain:
1.    Sastro Pranoto dari Padukuhan Nusupan
2.    H. Yuliadi, dari Padukuhan Nusupan.
08.07  Nama-nama yang pernah memangku jabatan Kabag Pembantu Umum/ Kaur Umum/ Kabag Pelayanan Umum , antara lain:
1.       Sarbini Projo Wiyono dari Padukuhan Panggungan
2.       Siswo Pranoto, dari Padukuhan Bedog
3.       Surata, dari Padukuhan Panggungan
08.08 Nama-nama yang pernah menjabat sebagai Kepala Dusun/ Dukuh, antara lain:
a.       Padukuhan Kronggahan I
1.       Sastrodimejo
2.       Fx. Sutardjo
3.       Ridhan Wahyuti
b.      Padukuhan Kronggahan II
1.         Harjosuwarno
2.         Benudiharjo
3.         Slamet Dirjo Wiyoto
4.         Anto Sudadi
c.       Padukuhan Ngawen
1.       Nitiwiharjo
2.       Ngadari
3.       Joyosudarmo
4.       Iswanto
d.      Padukuhan Mayangan
1.       Dirjo Sentono
2.       Atmowiryono
3.       Sutrisno Winoto
4.       Giran
e.      Padukuhan Trini
1.       Wongso sentono
2.       Darmohartono
3.       Purwanto
f.        Padukuhan Baturan
1.       Purwodiharjo
2.       Amat Jalal
3.       Marsugiyatno
4.       Dariati
g.       Padukuhan Jambon
1.       Notopidekso
2.       Hardono Hadisumitro
3.       Heri Siswanta
h.      Padukuhan Bedog
1.       Ali Winarto
2.       Sudarsono
3.       Sumarso
i.         Padukuhan Salakan
1.         Amat Saleh
2.         Amat Diharjo
3.         Suyana
j.        Padukuhan Nusupan
1.       Wignyo Hartono
2.       Marjo Suwarno
3.       Ignatius Suradi
4.       Sumarjono
k.       Padukuhan Biru
1.         Mangunwiharjo
2.         Partodiharjo
3.         Wartini
l.         Padukuhan Panggungan
1.       Atmorejo
2.       Dullah Hadi
3.       Surata
4.       Nurharyanto
5.       Madiyana
09         Sejarah Pendidikan di Desa Trihanggo.
Pada akhir tahun 1900, di Yogyakarta hanya terdapat 2 (dua) sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sekolah-sekolah ini oleh masyarakat lebih dikenal sebagai Sekolah Gubernemen. Kedua sekolah yang terdapat di Sri manganti Bangsal Trajumas Kraton Kasultanan Yogyakarta berderajat Kelas I dan sekolah yang berada di bangsal Pengapit Pagelaran berderajad Kelas II.
Sekolah berderajad Kelas I diperuntukan bagi anak-anak bangsawan dan pegawai tinggi, sedangkan sekolah berderajad Kelas II diperuntukkan bagi anak pegawai kelas menengah dan pegawai rendah.
Mulai tahun 1901, Pemerintah Hindia Belanda mulai memperbanyak sekolah Kelas II di wilayah Kasultanan Yogyakarta, sehingga di tahun 1906 di wilayah Yogyakarta terdapat 1 sekolah Kelas I dan 6 sekolah Kelas II.
Pada tahun 1907 dimasa pemerintahan sri Sultan HB VII banyak didirikan sekolah-sekolah kasultanan dan sekolah-sekolah Pakualaman.
Sekolah-sekolah yang berderajad Kelas II ini banyak didirikan di wilayah kawedanan dan kapanewon diluar kota. Biarpun Sekolah-sekolah Kasultanan ini hanya meluluskan siswa sampai kelas 3, tetapi hal ini merupakan tangga yang pertama bagi rakyat diluar kota untuk menimba ilmu pengetahuan dan sekaligus harapan menjadi pegawai pemerintah.
Salah satu Sekolah Kasultanan yang dimaksud tersebut diatas adalah Sekolah Kasultanan yang berada di padukuhan Jambon, yang pada saat ini lebih dikenal sebagai SDN Jambon I.
Pada Zaman Kemerdekaan, untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dasar di Desa Trihanggo telah didirikan beberapa Sekolah Dasar Negeri, sehingga pada saat ini terdapat lima Sekolah dasar Negeri, dua Sekolah Dasar Swasta dan satu Madrasah Ibtida’iyah. Sekolah-sekolah tersebut adalahlain :
01.   SDN Jambon I di Padukuhan Jambon
02.   SDN Jambon II di Padukuhan Kronggahan II,
03.   SDN Baturan I di Padukuhan Biru,
04.   SDN Baturan II di Padukuhan Panggungan,
05.   SDN Bedog di Padukuhan Bedog,
06.   SDN Mayangan di Padukuhan mayangan.
07.   SD Muhammadiyah Trini di Padukuhan Trini.
08.   SD Muhammadiyan Kronggahan di Padukuhan Kronggahan.
09.   Madrasah Ibti’daiyah Blendangan di Padukuhan Salakan.
Seiring dengan perkembangan jaman, untuk menambah daya tampung terhadap siswa lulusan Sekolah dasar Pada tahun 1976 di Desa Trihanggo didirikan Sekolah menengah Pertama (SMP) Negeri Trihanggo. Sekolah yang dibangun diatas Tanah Kas Desa Trihanggo seluas 1 Hektar ini pada saat ini lebih dikenal sebagai SMP 2 Gamping.
10         Sejarah Desa Trihanggo pada Jaman Pendudukan Tentara Jepang.
Pemerintahan Bala Tentara Jepang berkuasa di Indonesia selama kurang lebih tiga setengah tahun, mulai dari tahun 1942 sampai dengan tahun 1945. Pada jaman Pendudukan tentara Jepang di Indonesia, tentu saja wilayah Yogyakarta menjadi salah satu wilayah yang menjadi bagian dari penjajahan pendudukan tentara Jepang.
Penjajahan oleh bala tentara Jepang yang meskipun berlangsung hanya dalam waktu sekitar tiga setengah tahun, namun dirasakan sangat berat bagi rakyat. Hal ini karena rakyat diperlakukan sebagai obyek penjajahan.
Rakyat dipaksa untuk menyerahkan harta kekayaannya, rakyat dipaksa untuk menyerahkan semua hasil bumi dan pertanian, rakyat dipaksa untuk melakukan kerja paksa tanpa upah, bahkan rakyat dipaksa untuk menjadi romusha.
Dalam situasi yang sangat sulit, Sri Sultan HB IX sebagai Raja Kasultanan Yogyakarta mencetuskan ide untuk membuat Selokan Mataram.
Selokan Mataram ini berwujud sungai buatan yang berhulu di Sungai Progo, mengalir melintang kearah timur dan berhilir di kali Opak.
Beberapa tujuan pembangunan Selokan Mataram ini antara lain adalah-
01.   Menciptakan saluran irigasi baru agar hasil pertanian dapat ditingkatkan.
02.   Mencegah atau mengurangi rekruitmen romusha.
03.   Menciptakan lapangan kerja bagi rakyat dengan upah sistem padat karya.
04.   Membuka lahan pertanian baru.
11       Desa Trihanggo pada Jaman Permulaan Kemerdekaan RI
Pada tanggal 26 September 1945, hampir semua pegawai kantor negeri maupun kantor partikelir di wilayah Yogyakarta mengadakan aksi serentak mengambil alih kekuasaan atau pimpinan yang saat itu masih dikuasai oleh bangsa Jepang atau bangsa laen.
Aksi serentak itu dilaks

Tahun Data : 2019
Terakhir Update : 11 Desember 2019 - 10:43:07